BEKASI, NarasiKita.ID – Program Sistem Pengelolaan Air Limbah Domestik Setempat (SPALD-S) yang dibiayai melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Tahun 2025 Kabupaten Bekasi, menuai sorotan tajam. Program yang bertujuan mulia untuk meningkatkan akses sanitasi layak dan menekan angka penyakit akibat sanitasi buruk, diduga telah disalahgunakan oleh oknum yang mengatasnamakan dinas terkait untuk kepentingan bisnis pribadi.
Dugaan ini mencuat setelah adanya keluhan dari sejumlah Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) di Kabupaten Bekasi. Mereka mengaku diarahkan untuk membeli produk-produk tertentu dari perusahaan yang diduga telah ditunjuk oleh pihak dinas.
“Pengadaan biotank, kloset, daun pintu toilet, dan keramik diarahkan langsung oleh dinas,” ungkap salah satu pengurus KSM yang enggan disebutkan namanya karena khawatir akan dipersulit dalam proses pelaksanaan program. (Rabu, 4 Juni 2025)
Praktik ini dinilai telah mencederai semangat pemberdayaan masyarakat yang menjadi prinsip dalam pelaksanaan program SPALD-S. Bahkan, tak hanya pengadaan dari APBD, dugaan praktik serupa juga terjadi pada program SPALD-S yang dibiayai dari Dana Alokasi Khusus (DAK).
Seorang konsultan atau koordinator fasilitator diduga mengarahkan pembelanjaan produk biotank ke satu perusahaan tertentu melalui pesan WhatsApp kepada para KSM. Pesan tersebut disampaikan dalam bentuk undangan resmi yang seolah menegaskan adanya penunjukan pabrikan sebagai vendor “pemenang”.
Isi undangan tersebut berbunyi:
“Assalamu’alaikum, kepada Bapak Kabid Dinas Permukiman, Koordinator Penyehatan Lingkungan, Ketua KSM dan Tim Pengadaan Barang TFL SPALD-S (DAK). Dengan ini kami mengundang pada hari Selasa, 3 Juni 2025 pukul 08.00 WIB di titik kumpul SPALD-S DAK untuk kegiatan survei pabrik bio septic tank, sekaligus penandatanganan SPK antara KSM dan vendor pemenang.”
(Pesan dikirim pada Senin, 2 Juni 2025)
Praktik semacam ini memicu kritik keras dari kalangan aktivis. Salah satunya datang dari M. Romdon, aktivis mahasiswa dari Forum Dialektika Bekasi (For DIKSI). Ia menyatakan bahwa praktik penunjukan langsung tersebut melanggar prinsip dasar dalam pengadaan barang/jasa pemerintah.
“Ini jelas bentuk monopoli yang menghambat kebebasan KSM untuk memilih produk terbaik dan mematikan kompetisi yang sehat di kalangan penyedia lokal. Jika benar terjadi penunjukan tanpa mekanisme yang sah, ini bisa masuk ranah pidana,” tegas Romdon.
Ia juga mendorong masyarakat dan pelaksana program untuk berani melaporkan jika menemukan indikasi pelanggaran dalam pelaksanaan proyek yang bersumber dari dana publik.
“Kami mengajak masyarakat, terutama para pelaksana di tingkat bawah, untuk tidak ragu melaporkan jika melihat praktik tidak wajar. Dana negara harus digunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan publik, bukan memperkaya pihak tertentu,” ujarnya.
Romdon menambahkan bahwa dalam waktu dekat, Forum Dialektika Bekasi akan melaporkan dugaan tersebut ke Aparat Penegak Hukum (APH), karena telah memenuhi unsur pelanggaran terhadap Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi serta Peraturan Presiden tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah. (MA)