KARAWANG, NarasiKita.ID – Yusup Saputra, warga Desa Pinayungan, Kecamatan Telukjambe Timur, Kabupaten Karawang, terancam dijatuhi hukuman pidana penjara setelah ditetapkan sebagai terdakwa atas dugaan pencemaran nama baik Kepala Desa Pinayungan berinisial E. Tuduhan tersebut bermula dari pernyataannya dalam sebuah pemberitaan media yang memuat kritik terhadap pengelolaan dana Corporate Social Responsibility (CSR) dan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) oleh pemerintah desa setempat.
“Awalnya ini berkaitan dengan pemberitaan media pada tahun 2023,” ungkap Yusup saat ditemui usai menjalani persidangan di Pengadilan Negeri (PN) Karawang, Senin (02/06/2025).
Yusup menjelaskan bahwa dirinya hanya memberikan keterangan kepada wartawan sebagai tokoh masyarakat, bukan dalam kapasitas pribadi yang mencari sorotan media. “Wartawan datang meminta keterangan karena saya dianggap sebagai tokoh masyarakat. Bukan saya yang ingin diekspos,” ujarnya.
Menurutnya, informasi yang disampaikannya dalam berita tersebut bersumber dari keterangan pengacara perusahaan yang menyalurkan CSR. “Saya hanya menyampaikan informasi yang saya dengar langsung dari pengacara Nanang. Tidak ada yang saya tambah atau kurangi,” tegasnya.
Yusup juga menekankan bahwa kritiknya bersifat konstruktif dan tidak menyasar individu tertentu. “Saya tidak pernah menyebut nama atau inisial siapa pun. Saya hanya mengkritisi pihak pemerintah desa demi perbaikan tata kelola,” katanya.
Namun demikian, Yusup dipanggil oleh aparat penegak hukum sebanyak tiga kali sepanjang 2024, sebelum akhirnya pada pemanggilan keempat ia dinyatakan sebagai tersangka. Ia dituduh membuat pernyataan yang dianggap merusak kehormatan kepala desa.
“Saya kecewa dengan keputusan penyidik. Saya hanya menjadi narasumber, tidak ada niat menyudutkan siapa pun,” ujar Yusup. Ia juga mengungkapkan bahwa telah ada upaya mediasi dari pihak ketiga, namun tidak ditanggapi oleh pemerintah desa.
Kuasa Hukum: Ini Seharusnya Ranah Dewan Pers
Kuasa hukum Yusup, Simon, menyatakan bahwa kasus ini semestinya tidak diproses secara pidana, mengingat substansinya berkaitan dengan pemberitaan media. “Untuk perkara pemberitaan, penyelesaiannya harus melalui Dewan Pers. Media yang menayangkan berita pun seharusnya diproses sesuai mekanisme pers, bukan dibawa ke ranah pidana,” tegasnya dalam sidang pembelaan.
Simon menegaskan bahwa pihaknya meminta majelis hakim membebaskan kliennya dari semua dakwaan, karena unsur pidana dalam kasus ini sangat lemah dan cenderung mengabaikan prinsip kebebasan berekspresi.
GMNI Karawang: Pembungkaman terhadap Hak Berpendapat
Dukungan terhadap Yusup datang dari DPC Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Kabupaten Karawang, yang menggelar aksi solidaritas di depan PN Karawang, Senin (02/06). Aksi tersebut sebagai bentuk protes terhadap kriminalisasi warga yang menyampaikan kritik.
Ketua DPC GMNI Karawang, Muhamad Alfani Husen, menyampaikan bahwa kritik Yusup tidak mengandung tuduhan atau fitnah terhadap kepala desa, melainkan hanya mempertanyakan kebijakan dalam pengelolaan BUMDes dan dana CSR.
“Pejabat publik seharusnya terbuka terhadap kritik, bukan bersikap represif. Bukti-bukti dalam persidangan juga tidak kuat. Karena itu, kami mendesak PN Karawang untuk membebaskan Yusup dan memberikan putusan yang adil,” tegas Alfani dalam orasinya.
Ancaman Hukuman dan Proses Persidangan
Humas PN Karawang, Hendra Kusuma Wardana, mengonfirmasi bahwa perkara dengan terdakwa Yusup Saputra bin Karsam kini telah memasuki tahap akhir, dengan agenda sidang pembacaan pledoi atau pembelaan dari pihak terdakwa.
“Sidang terbuka untuk umum. Kami masih menunggu proses pembelaan,” ujarnya.
Dalam surat tuntutan, jaksa mendakwa Yusup berdasarkan Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) tentang pencemaran nama baik melalui media elektronik. Apabila terbukti bersalah, Yusup terancam hukuman penjara satu tahun dan denda sebesar Rp100 juta, subsider dua bulan kurungan.
GMNI Karawang menyatakan akan terus mengawal jalannya proses hukum hingga putusan akhir dibacakan. Mereka juga siap membawa perkara ini ke tingkat lebih tinggi, termasuk melapor ke Kapolri dan Kejaksaan Agung apabila ditemukan indikasi penyalahgunaan wewenang atau pelanggaran keadilan dalam penanganan kasus tersebut. (rls/red)