KARAWANG, NarasiKita.ID – Tekanan fiskal yang mulai dirasakan berbagai daerah, termasuk Kabupaten Karawang, menjadi perhatian serius banyak pihak. Penyesuaian anggaran, meningkatnya kebutuhan layanan publik, serta dinamika ekonomi nasional membuat ruang fiskal daerah semakin sempit. Kondisi ini menuntut pemerintah daerah mencari sumber penguatan alternatif agar pembangunan tetap berjalan.
Direktur Ghazali Center (Research & Consulting), Lili Gojali, S.Pd, menegaskan bahwa Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perusahaan (TJSLP/CSR) merupakan salah satu instrumen strategis yang bisa menopang pembangunan daerah di tengah keterbatasan APBD.
“Karawang adalah kawasan industri besar. Potensi CSR-nya sangat luar biasa. Ketika ruang APBD terbatas, CSR bisa menjadi penyangga penting bagi sektor-sektor prioritas masyarakat,” ujar Lili kepada NarasiKita.ID.
Namun, potensi besar itu dinilai belum termanfaatkan secara maksimal. Penyebab utamanya, kata Lili, adalah minimnya sosialisasi dan transparansi terhadap implementasi Perda Kabupaten Karawang Nomor 7 Tahun 2020 tentang TJSLP.
“Perdanya sudah ada sejak 2020, tetapi publik tidak pernah benar-benar tahu bagaimana mekanisme CSR dijalankan. Sosialisasinya kurang. Masyarakat bertanya, siapa sebenarnya yang duduk dalam forum CSR itu? Bagaimana menentukan prioritasnya? Bagaimana alokasi programnya? Ini harus dibuka,” tegasnya.
Menurut Lili, forum CSR seharusnya bekerja secara transparan, partisipatif, dan akuntabel. Tanpa keterbukaan tersebut, publik sulit menilai apakah program CSR yang dijalankan benar-benar sesuai kebutuhan masyarakat.
Ia juga menyinggung adanya pengalaman masa lalu yang menimbulkan tanda tanya di publik soal arah dan urgensi penggunaan dana CSR.
“Kita tidak ingin terulang penggunaan CSR yang menimbulkan tanda tanya. Ada kasus CSR perusahaan energi justru dialokasikan jauh dari lokasi dampak industrinya, sementara masyarakat di sekitar wilayah terdampak masih kekurangan fasilitas dasar. Ini harus jadi pelajaran,” ujarnya.
Lili menekankan bahwa arah CSR harus berpihak pada kebutuhan mendesak masyarakat, seperti pendidikan, kesehatan, lingkungan, pemberdayaan ekonomi, hingga infrastruktur dasar yang langsung dirasakan manfaatnya oleh warga.
Selain itu, Ghazali Center mengingatkan bahwa produk hukum daerah akan kehilangan makna jika tidak dijalankan secara konsisten.
“Jangan sampai Perda CSR ini bernasib seperti beberapa Perda lain yang akhirnya hanya menjadi lembaran kertas. Kita pernah punya Perda bagus, misalnya Perda No.1 Tahun 2011 tentang tenaga kerja lokal, tapi implementasinya lemah. Jangan sampai hal yang sama terjadi lagi,” tegas Lili.
Menurut kajian Ghazali Center, Perda CSR Karawang sebenarnya sudah memberikan kerangka hukum yang baik. Tantangannya adalah menjalankan aturan itu dengan komitmen penuh, pengawasan kuat, dan keterbukaan informasi publik.
“Karawang punya potensi, punya regulasi, punya industri. Yang dibutuhkan sekarang adalah keseriusan dalam tata kelola dan keterbukaan informasi. Masyarakat berhak tahu, dan perusahaan berhak mendapat arahan yang jelas,” tambah Lili.
Sebagai lembaga riset dan konsultan kebijakan, Ghazali Center menegaskan komitmennya untuk terus memberikan kajian, edukasi, dan dorongan kebijakan agar tata kelola CSR di Karawang menjadi lebih profesional, tepat sasaran, dan berdaya guna bagi masyarakat luas. (Ist/Yusup)


























