KARAWANG, NarasiKita.ID – Sorotan tajam datang dari Desa Ciptamarga, Kecamatan Jayakerta. Tokoh masyarakat setempat, M. Tamami atau yang akrab disapa A Tamami, mempertanyakan kejelasan pengelolaan BUMDes Margaraharja yang mengelola program ketahanan pangan sebesar 20 persen dari Dana Desa.
Menurut A Tamami, hingga kini masyarakat tidak pernah menerima laporan terbuka mengenai hasil pengelolaan dana tahap pertama yang disebut-sebut digunakan untuk menyewa lahan sawah, maupun pelaksanaan tahap kedua yang kini tengah berjalan.
“Katanya tahap pertama dipakai untuk sewa lahan sawah. Tapi hasilnya di mana? Siapa yang mengelola dan berapa pendapatannya, masyarakat tidak tahu. Sekarang sudah masuk tahap dua, tapi tetap gelap,” tegas A Tamami, Jumat (10/10/2025).
Ia menilai kondisi tersebut menimbulkan tanda tanya besar. Padahal, BUMDes seharusnya menjadi lembaga ekonomi desa yang transparan, terbuka, dan memberi manfaat nyata bagi warga, bukan justru menjadi ruang gelap yang sulit diakses publik.
“BUMDes itu badan usaha milik desa, bukan milik oknum. Kalau pengelolaan dana publik saja tertutup, itu jelas menyalahi semangat Undang-Undang Desa,” ujarnya.
A Tamami menegaskan, pihaknya akan segera melayangkan surat permohonan informasi publik resmi kepada Pemerintah Desa Ciptamarga dan pengurus BUMDes Margaraharja. Langkah ini diambil untuk memastikan adanya transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan dana ketahanan pangan.
“Kalau pihak BUMDes tidak mau transparan atas pengelolaannya, kami akan gunakan hak kami sebagai warga desa berdasarkan UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik dan Permendesa PDTT Nomor 3 Tahun 2021 tentang Pendaftaran, Pengelolaan, dan Pembinaan BUMDes. Jangan sampai uang rakyat dikelola tanpa kontrol,” tegasnya.
“Kalau pengelolaan BUMDes bersih, kenapa harus takut dibuka? Kalau bersih, tak perlu risih,” tandasnya.
Sementara itu, Kepala Desa Ciptamarga, Muslihat, memberikan tanggapan atas polemik pengelolaan dana ketahanan pangan 20 persen Dana Desa yang dikelola melalui BUMDes Margaraharja.
Muslihat menegaskan bahwa seluruh mekanisme pencairan dana dilakukan secara tertib administrasi dan melalui proses musyawarah desa (musdes). Ia menjelaskan, setiap perubahan jenis usaha atau kegiatan yang dibiayai oleh BUMDes harus terlebih dahulu disepakati dalam forum resmi desa.
“Ketua atau Bendahara BUMDes itu transfer ke rekening desa setelah musdes menentukan usahanya apa. Kalau dirubah setelah ada hasil, baru dia bikin proposal lagi, lalu ditransfer lagi,” ujar Muslihat.
Lebih lanjut, Muslihat mengungkapkan bahwa hingga saat ini tahap II anggaran untuk BUMDes Margaraharja belum direalisasikan. Ia beralasan masih menunggu hasil musyawarah antara pihak desa dan BPD, serta pengajuan proposal resmi dari pihak pengelola BUMDes.
“Belum (ditransfer), lantaran masih menunggu hasil musyawarah bersama BPD. Kalau sudah ke fisik, ya fisiknya mana. Kami juga masih menunggu proposal pengajuan tahap II dari direktur BUMDes,” tegasnya.
Pernyataan Muslihat ini menjadi tanggapan atas sorotan warga yang mempertanyakan transparansi dan hasil pemanfaatan dana ketahanan pangan tahap pertama yang telah digulirkan melalui BUMDes Margaraharja. (Yusup)




























