KARAWANG, NarasiKita.ID – Praktisi hukum dan pengamat kebijakan publik, Syarif Husen, SH, yang tergabung dalam Forum Karawang Utara Bergerak (FKUB) memberikan pandangannya terkait dugaan praktik pecah paket proyek di Desa Ciptamarga, Kecamatan Jayakerta, yang berbatasan dengan Desa Dewisari, Kecamatan Rengasdengklok. Salah satu proyek yang disorot adalah pembangunan saluran drainase yang dikerjakan oleh CV. Sinar Fajar, namun sudah ambruk hanya dalam hitungan bulan.
Parahnya, proyek yang menunjukkan mutu buruk dan lemahnya pengawasan itu dibiarkan rusak tanpa perbaikan hingga masa pemeliharaan telah habis bahkan akhirnya memicu sorotan media dan publik.
“Dugaan pecah paket proyek ini harus dibuktikan terlebih dahulu. Termasuk mempertanyakan apakah proses penunjukan pemenang telah melalui mekanisme lelang yang sah atau justru ada unsur sengaja dilakukan untuk menghindari proses lelang terbuka,” ujar Syarif kepada NarasiKita.ID, Kamis (19/06/2025).
Ia juga menyoroti bahwa proses pengadaan barang dan jasa, khususnya konstruksi, sangat rentan terhadap penyimpangan sejak tahap seleksi administrasi hingga pelaksanaan proyek.
“Yang berbahaya adalah jika terjadi persekongkolan antara panitia pengadaan dan rekanan, karena itu berpotensi menimbulkan kerugian keuangan negara dan menjadi kasus hukum baru,” jelasnya.
Syarif juga menyesalkan keputusan Bidang SDA Dinas PUPR Karawang yang kembali menunjuk kontraktor bermasalah untuk mengerjakan proyek serupa. Ia menegaskan bahwa proyek yang telah gagal tidak seharusnya diserahkan kembali kepada pihak yang sama tanpa evaluasi dan audit menyeluruh.
“Jika sebelumnya sudah terbukti gagal, seharusnya dilakukan audit terhadap pekerjaan tersebut. Bila ditemukan ketidaksesuaian spesifikasi atau kelalaian dari kontraktor dan pengawas proyek, seharusnya pekerjaan tersebut harus di hentikan terlebih dahulu dan dilakukan evaluasi yang baik. Jangan asal lempar anggaran ke pihak yang sama. Ini uang rakyat. Bukan diperbaiki lalu diberikan lagi anggaran,” sesalnya.
Lebih lanjut, Syarif menyebut dugaan praktik pecah paket bukan sekadar pelanggaran administratif, melainkan bentuk korupsi sistematis yang dilakukan secara sadar oleh oknum pejabat.
“Pecah paket itu modus korupsi. Biasanya proyek besar sengaja dipecah agar nilainya di bawah Rp200 juta dan bisa diberikan langsung ke kontraktor tanpa proses lelang. Jika memang benar ada dugaan pecah paket ini tidak berdasarkan suatu aturan yang berlaku, ini artinya merupakan suatu kejahatan anggaran yang dirancang,” ungkapnya.
Menurutnya, tidak jarang oknum Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) sering menjadi aktor utama di balik pola tersebut. Mereka memanfaatkan celah aturan agar proyek terbagi dalam beberapa paket kecil dan lolos dari proses lelang terbuka.
“Jangan anggap ini sekadar teknis administrasi. Jika terbukti adanya suatu pelanggaran dalam prosesnya, berarti ini kejahatan yang tersistematis. Jangan main-main dengan uang rakyat, sebab suatu proyek tersebut harus dapat dirasakan kebermanfaatannya oleh masyarakat,” paparnya.
Syarif pun menegaskan bahwa praktik tersebut melanggar UU No. 31 Tahun 1999 junto UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, khususnya Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3, yang mengancam pidana penjara maksimal 20 tahun bagi pihak yang menyalahgunakan wewenang dan merugikan keuangan negara.
“Jika terbukti adanya persekongkolan dan adanya indikasi keberpihakan untuk memenangkan salah satu pengusaha pelaksana proyek sehingga timbul indikasi menyalahgunakan jabatannya sehingga terpenuhi segala unsur, dalam UU No 20 Tahun 2001 pasal 2 ayat (1) yang menyatakan secara spesifiknya menegani setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi dapat di ancam pidana penjara 4-20 tahun serta denda dan dalam Pasal 3 ini mengenai perbuatan oknum pejabat yang menyalahgunakan wewenang jabatannya untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi ancamannya tidak main-main bisa hingga seumur hidup atau 20 tahun dan denda, jadi jangan main-main dengan hal-hal yang menyangkut penggunaan keuangan negara,” tegasnya.
Kemudian, ia juga menyampaikan sepakat dengan penyataan Ketua Forum Karawang Utara Bergerak (FKUB), DPRD Karawang, khususnya Komisi III untuk menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) memanggil pihak-pihak terkait.
“Saya sepakat dengan Ketua FKUB, DPRD Komisi III gelar RDP untuk melakukan pemanggilan serta investigasi atas proses pengadaan proyek tersebut. Jika ditemukan pelanggaran, harus ada sanksi tegas dan proses hukum yang berjalan sebagaimana dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku,” ujarnya.
Menutup pernyataannya, Syarif mengajak masyarakat sipil, jurnalis, dan aktivis antikorupsi untuk terus mengawasi dan membongkar praktik-praktik kotor dalam proyek pemerintah.
“Jika negara mandul menghadapi mafia anggaran, maka rakyat harus bersuara lebih keras. Ini bukan soal besar kecil suatu proyek. Ini soal mempertahankan dan adanya kebermanfaatan dalam penggunaan uang rakyat dari kerakusan oknum birokrat busuk!” pungkasnya.
Sebelumnya, tiga proyek infrastruktur tahun anggaran 2024 yang diduga sengaja dipecah-pcah untuk menghindari lelang ditemukan bertumpuk di lokasi yang sama. Anehnya, semuanya dikerjakan oleh kontraktor yang sama: CV. Sinar Fajar.
Berikut tiga proyek yang diduga sebagai hasil pecah paket:
• Rehabilitasi Bendung Irigasi Dusun Citokol, RT 016, Desa Ciptamarga – Rp188.675.000
• Rehabilitasi Bendung Irigasi Dusun Peundeuy, RT 16/RW 06, Desa Ciptamarga – Rp189.005.000
• Rehabilitasi Saluran Drainase Dusun Peundeuy, RT 16/RW 06, Desa Ciptamarga – Rp188.985.000
Ketiganya nyaris identik: judul pekerjaan serupa, nilai kontrak di bawah ambang batas lelang terbuka. Salah satu proyek, yakni saluran drainase, bahkan sudah ambruk hanya dalam hitungan bulan, memperlihatkan kualitas yang buruk dan nihil pengawasan. (Yusup)