KARAWANG, NarasiKita.ID – Di tengah perubahan iklim, banjir tahunan, dan gempa yang makin rutin menyapa bumi, Pemerintah Kabupaten Karawang tampaknya memilih satu strategi unggulan dalam menghadapi bencana: berdoa lebih keras, revisi RTRW belakangan saja.
Berdasarkan laporan resmi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Nomor 08/LHP/XVIII.BDG/01/2025, upaya mitigasi bencana Pemkab Karawang dinilai “belum memadai.” Kalimat yang sopan dari BPK untuk menghindari menulis: lembek, lalai, dan nyaris tak peduli.
Dokumen Tata Ruang: Usang, Dibiarkan, tapi Masih Dipakai
Perda RTRW Karawang Nomor 2 Tahun 2013 konon berlaku sampai 2031. Tapi yang menarik, dokumen ini belum pernah direvisi satu kali pun sejak disahkan. Padahal jelas dalam aturannya, RTRW wajib ditinjau ulang minimal setiap lima tahun. Lalu kenapa tidak dilakukan? Jawabannya sederhana: mungkin lupa, mungkin malas, atau memang mungkin tak penting.
Ironisnya, dokumen ini hanya mengenali tiga jenis bencana: banjir, longsor, dan gelombang pasang. Selebihnya gempa megathrust, kebakaran lahan, cuaca ekstrem, hingga kemungkinan bocornya teknologi industri Karawang tampaknya masih dianggap teori konspirasi.
RTBL: Rencana Tata Bangunan yang Tak Tahu Risiko
Perbup Nomor 9 Tahun 2017 tentang Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL) hanya berlaku di kawasan sempadan irigasi Johar. Bahkan di dokumen ini pun, konsep mitigasi bencana hanya numpang lewat. Tidak ada peta risiko, tidak ada ketentuan teknis pembangunan tahan bencana. Jadi kalau suatu saat bangunan ambruk diterjang banjir atau gempa, warga cukup diberi tahu: maaf, itu tidak tercantum dalam peraturan kami.
Sosialisasi? Biar Musrenbang yang Urus
Dari 179 desa dan kelurahan, 99 menyatakan belum pernah disosialisasikan soal RTRW. Tapi tenang saja, Pemkab bilang itu sudah disisipkan saat Musrenbang. Jadi kalau warga tak paham mereka tinggal diminta membaca pikiran pejabat di forum tersebut.
Bahkan di kawasan Karangligar yang langganan banjir, tak pernah sekalipun ada dialog khusus membahas penataan ruang. Mungkin karena air yang datang setiap tahun dianggap bagian dari kearifan lokal, bukan bencana.
Sanksi Pelanggaran? Sedang Dikaji, Mungkin Sampai Kiamat
Lebih menggelikan lagi, meski banyak pelanggaran tata ruang di daerah rawan bencana, hingga kini belum ada satu pun Peraturan Bupati yang mengatur sanksi administratif. Artinya, siapa pun bisa bangun rumah di pinggir sungai, di sempadan saluran, bahkan di jalur gempa tanpa takut ditegur.
Kata Dinas PUPR, rancangan Perbup sanksi sudah ada, tapi masih berupa “konsep.” Entah akan disahkan setelah pemilu, setelah banjir besar berikutnya, atau setelah Tuhan langsung turun tangan mengingatkan.
Kesimpulan: Yang Bergerak Cepat Hanya Proyek Strategis Nasional
Sementara RTRW mangkrak, Proyek Strategis Nasional seperti Tol MBZ, Kereta Cepat Whoosh, dan Japek II terus ngebut membelah Karawang. Perencanaan tata ruang? Urusan nanti. Yang penting pembangunan jalan tol jalan terus. Soal keselamatan rakyat? Itu mungkin bisa diserahkan ke Badan Penanggulangan Doa dan Harapan.
Catatan Terakhir: Warga Harus Siaga, Meski Pemerintahnya Tidak
Warga Karawang tampaknya harus mulai belajar bertahan sendiri: buat panggung rumah, siapkan pelampung, dan cetak ulang dokumen penting dalam plastik tahan air. Karena hingga kini, mitigasi bencana versi Pemkab Karawang masih berkutat di tataran “sedang dirancang,” “dalam proses,” dan “akan dibahas lebih lanjut.”
Kalau bencana datang? Ya, itu salah alam. Bukan salah RTRW yang sudah 12 tahun tak disapa.
Oleh : Redaksi NarasiKita.ID