KARAWANG, NarasiKita.ID — Program pemeriksaan Tuberculosis (TBC) yang digelar Saan Mustopa Center (SMC) di Desa Pisangsambo, Kecamatan Tirtajaya, Kabupaten Karawang, Sabtu (15/11/2025), membuka kembali kenyataan lama: akses layanan kesehatan dasar di wilayah pedesaan masih belum merata.
Kegiatan skrining ini disambut antusias warga, terutama karena mereka jarang mendapatkan layanan pemeriksaan langsung di desanya. Bagi warga seperti Eha Rohana (50), kesempatan ini menjadi pengalaman baru untuk mengetahui kondisi kesehatannya tanpa harus mengeluarkan biaya transportasi ke kota.
“Kalau mau rontgen atau cek TBC, biasanya harus ke kota dan itu butuh biaya serta waktu. Dengan kegiatan ini, warga jadi bisa tahu kondisi kesehatannya,” ujar Eha.
Sementara itu, Wakil Ketua DPR RI Saan Mustopa yang hadir dalam kegiatan tersebut menegaskan bahwa penanggulangan TBC masih menjadi perhatian utama pemerintah dan DPR, mengingat Indonesia masih menjadi salah satu negara dengan jumlah kasus TBC tertinggi di dunia. Namun, ia mengakui bahwa tingkat kesadaran masyarakat terhadap penyakit ini masih sangat rendah.
“TBC ini penyakit serius. Tapi tingkat pengetahuan masyarakat masih minim. Karena itu kita lakukan deteksi dini dengan mendatangi langsung masyarakat,” kata Saan.
Menurutnya, TBC sering dianggap penyakit ringan di kalangan masyarakat pedesaan. Akibatnya, banyak penderita baru memeriksakan diri setelah kondisi sudah parah dan berisiko menularkan penyakit ke orang lain di sekitarnya.
Program skrining yang dilakukan SMC ini menargetkan 300 warga dalam satu kegiatan dan akan diperluas hingga 5.000 warga di 30 kecamatan di Kabupaten Karawang. Strategi jemput bola dinilai lebih efektif untuk menjangkau masyarakat yang selama ini sulit mengakses fasilitas diagnostik seperti rontgen.
Saan menegaskan bahwa langkah ini bukan hanya bagian dari peringatan HUT ke-14 Partai NasDem, tetapi merupakan bentuk komitmen sosial dalam meningkatkan deteksi dini penyakit menular.
“Kita tidak ingin warga menunggu datang ke rumah sakit. Justru kita yang datang ke warga agar deteksi dini bisa dilakukan dan penyebaran TBC bisa ditekan,” ujarnya.
Kondisi geografis wilayah pesisir seperti Tirtajaya membuat akses kesehatan tidak selalu mudah. Biaya transportasi, jarak tempuh, dan waktu perjalanan menjadi kendala klasik bagi warga desa untuk memeriksakan diri ke puskesmas atau rumah sakit. Akibatnya, banyak kasus TBC tidak terdiagnosis dan berpotensi menularkan penyakit ke anggota keluarga lain dalam satu rumah.
Data Kementerian Kesehatan menunjukkan bahwa TBC masih menjadi salah satu penyakit menular dengan angka kematian tertinggi di Indonesia, meski sebagian besar kasus sebenarnya bisa disembuhkan dengan deteksi dan pengobatan sejak dini.
Kegiatan skrining ini diharapkan menjadi model kolaborasi antara masyarakat, pemerintah, dan unsur politik dalam memperluas jangkauan layanan kesehatan dasar di daerah-daerah terpencil. Saan berharap kegiatan serupa bisa terus diperluas dan diintegrasikan dengan program pemerintah daerah, agar penanggulangan TBC tidak hanya bersifat seremonial, tetapi berkelanjutan.
“Kita ingin masyarakat di desa punya akses yang sama terhadap layanan kesehatan seperti warga di kota. Pemeriksaan seperti ini tidak boleh berhenti di satu titik,” tegasnya.
Dengan pendekatan jemput bola seperti ini, diharapkan kesenjangan akses kesehatan di wilayah pedesaan Karawang dapat berangsur berkurang, dan angka kasus TBC dapat ditekan melalui deteksi dini yang lebih merata. (ist/red)


























